Sewaktu kecil, selalu ditanya apa cita-cita kalau
sudah besar nanti? Jawaban kebanyakan anak-anak jaman saya adalah
dokter, guru atau polisi. Berbeda dengan anak-anak saya. Ketika ditanya
mau jadi apa kalau sudah besar? Jawabannya adalah spiderman, ultraman,
power rangers.
Atau tokoh jagoan yang sedang naik daun di tayangan televisi Indonesia. Lucu memang, tapi itulah imajinasi mereka.
Atau tokoh jagoan yang sedang naik daun di tayangan televisi Indonesia. Lucu memang, tapi itulah imajinasi mereka.
Dulu eyang saya menginginkan saya menjadi dokter, supaya bisa mengobati
keluarga dan orang tua katanya. Malah sempat sedikit turun keinginannya,
tidak menjadi dokter tidak apa-apa yang penting mendapat suami seorang
dokter. Haha, sekarang cita-cita eyang tercapai karena sudah menjadi
istri dokter tapi dokter urusan perpohonan dan tanaman..hehe. Orang tua
saya yang pegawai negeri (PNS) mempunyai harapan dan cita-cita yang lain
lagi. Mereka ingin saya menjadi PNS saja seperti mereka, dapat pensiun
dan pekerjaannya santai. Ini cerita bapak saya loh. Lalu apa cita-cita
saya sendiri? Waktu kecil mempunyai cita-cita ala anak-anak pada
jamannya untuk menjadi dokter, lalu ketika SMA berubah ingin menjadi
dosen atau PNS. Nah setelah kuliah ingin bekerja di perusahaan swasta
dan melanjutkan kuliah. Mulukkah cita-cita saya?
Setiap manusia dilahirkan dengan cita-cita sekecil apapun, kalau kata
teman saya cita-citanya standar banget, nggak muluk-muluk amat. Nah
terkadang untuk mengejar cita-cita itu sampai sekolah di tempat yang
paling bagus dan bergengsi. Lalu setelah itu, dapatkah cita-cita itu
didapatkannya? Jawabannya iya dan tidak. Tergantung sebatas mana menilai
kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Kebanyakan orang menilai
kesuksesan dari materi dan pekerjaan. Menganggap sukses adalah kaya
dengan jabatan, bahkan ada yang cukup puas hidup di desa terpencil atau
pulau nan jauh dimana dengan keluarga tercinta.
Banyak hal yang mempengaruhi sebuah cita-cita dan kesuksesan terutama
dalam pekerjaan, ini kesimpulan yang kami dapat dari hasil chating.
Antara lain :
1. Kesempatan datang tidak tepat waktu. Ada sebuah tawaran
pekerjaan/sekolah disaat dimana kita tidak siap menerimanya. Misal
kendala waktu yang terbatas, sedang hamil atau tidak bisa meninggalkan
hal lebih penting untuk dikorbankan dalam meraih cita-cita itu sendiri.
2. Status dan kondisi. Bagi yang berstatus single atau belum menikah,
tentu masih banyak peluang yang bisa diperoleh. Misal untuk bekerja di
bank, perusahaan penerbangan atau perusahaan tertentu yang memberi salah
satu syarat standar yaitu lajang dari deretan syarat yang banyak. Maka
ambilah kesempatan itu ketika masih lajang dan jangan buru-buru menikah.
Kalau sudah menikah tentulah satu kesempatan sudah tertutup. Ibarat
kalah sebelum berperang.
3. Faktor U atau umur. Kejarlah semua peluang dan kesempatan ketika
kalian masih muda. Beberapa lowongan di media cetak selalu memberikan
syarat umur maks. Maka ketika masih kinyis-kinyis, ambilah kesempatan
itu. Baik untuk bekerja maupun sekolah. Karena makin berumur maka kerja
otak untuk merekam semua memori menjadi lamban dan terbatas.
4. Berani ambil resiko. Nah ini yang terkadang paling sulit dilakukan.
Ketika kesempatan datang dan kita harus berani mengorbankan sesuatu yang
penting. Misal meninggalkan keluarga sementara waktu dan tinggal di
tempat yang berjauhan dengan keluarga. Salut kepada teman-teman yang
berani mengambil jalan ini, bahkan banyak teman yang menitipkan
anak-anaknya ke keluarga atau orang tua, sementara mereka tinggal di
tempat yang berbeda pula. Dan ternyata saya bukanlah orang yang berani
mengambil resiko ini karena menganggap keluarga yang utama.
5. Tidak sesuai kemampuan. Kemampuan setiap orang tentu berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Kalau semua sama dan seragam, oh betapa
monotonnya dunia ini. Kesempatan yang ditawarkan terkadang diluar
kemampuan kita.
Banyak kesempatan yang sudah saya lewatkan sebelumnya. Tawaran menjadi
co ass dosen dan menjadi karyawan BUMN yang ternama. Karena saya
memlilih pekerjaan yang tetap dekat dengan keluarga dan bisa selalu
berkumpul setiap saat. Dan sekarang saya bisa mengikuti suami pindah ke
Eropa dengan sesuka hati. Menyesalkah? Nah ini pembahasan yang diulas
sahabat saya ketika chating di facebook.
Penyesalan selalu datang terlambat dan sesal tiada arti. Ingat ungkapan
seorang guru bahasa Indonesia sewaktu saya sekolah di SMP dulu. Mengapa
penyesalan selalu datang terlambat? Kalau datangnya duluan bukan sesal
namanya tapi kebodohan. Lalu, pernahkah kalian menyesali sesuatu dalam
hidup? Apapun itu, saya yakin pasti setiap insan mengalaminya. Kalau ada
yang bilang tidak pernah, berani taruhan pasti sedang berbohong. Tidak
baikkah menyesali sesuatu? Sebagian orang akan mengatakan itu jelek atau
bahasa gaulnya lebay, namun sebagian lagi akan mengatakan wajar,
manusiawi dan lumrah.
Sesal tiada arti. Memang iya sih, buat apa kita menyesali semua yang
telah terlewati beberapa waktu yang lalu, toh tidak akan mengembalikan
semua kesempatan itu lagi kan? Tentu kesempatan itu tak akan datang
lagi. Lalu buat apa di sesali? Manusiawi juga sih ketika seseorang
menyesali segala kesempatan yang pernah dilewatkan, seperti tawaran
pekerjaan, bisnis, sekolah ataupun yang lain. Coba kesempatan itu
datang lagi ya… wow, indah nian dunia ini.
Namun saya tetap bersyukur atas semua kesempatan yang saya peroleh,
walau di luar cita-cita yang diinginkan. Coba saya menjadi pegawai BUMN
tentu tak akan bisa ikut pindah dan menikmati Eropa. Kalau jadi co ass
dosen tentu mendapat kesempatan kuliah lagi, tapi siapkah berpisah
dengan keluarga? Alhamdulillah atas semua kesempatan dan kebaikan
yang telah saya peroleh dalam hidup ini. Tetap bersama keluarga dan
menikmati Eropa. Namun tetap ingin meraih cita-cita yang berbeda…untuk
bisa melanjutkan sekolah..sementara ini mungkin sekolah bahasa Swedia,
syukur-syukur bisa melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, amien..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar